top of page

Masihkah Anda Ingat Kami ?

(Janarto, Herry Gendut, 1990, TEGUH SRIMULAT Berpacu dalam Komedi dan Melodi. Gramedia)

Srimulat berasal dari nama seorang wanita bernama Raden Ajeng Srimulat.

 

Beliau merupakan anak bungsu dari lima bersaudara pasangan Raden Mas Aryo Tjitrosama dan Raden Ayu Sendah. Darah seninya mengalir dari ayahandanya. Dan sang ayah menamainya secara pas putri bungsunya itu dengan nama Srimulat yang berarti, Sri dalam bahasa Jawa Kuno adalah kebesaran, keagungan, keindahan, kebahagiaan juga kemulian. Sedangkan Mulat ialah memandang, menyantap, melihat juga menyaksikan. Dari nama yang diberikan oleh kedua orangtuanya maka mempunyai makna kelak putrinya dapat meraih masa depan gemilang penuh kemuliaan.

 

Awal kisah dari perjalanan Srimulat,

 

Beliau dibesarkan dalam kehidupan dengan semua serba ningrat, ayahnya adalah seorang nomor satu di Bekonang. Ayahnya mempunyai banyak selir sehingga seringkali membuat kecemburuan terjadi di antara sesama wanita yang kekurangan kasih sayang, seiring dengan masa bertumbuhnya Raden Ajeng Srimulat, beliau makin tidak tahan dengan kondisi di keluarga besarnya dan memutuskan untuk minggat pada usia 18 tahun. Setelah berhari- hari masa pelariannya kemudian beliau melamar pekerjaan pada dalang Ki Tjermosugondo yang laris, setahun kemudian ia bergabung pada Ketoprak Candra Ndendari pimpinan Ki Reksotruno yang akhirnya diajaknya Srimulat berkeliling di kota – kota di Jawa Tengah. Lepas dari Ketoprak Candra Ndendari Srimulat bergabung memperkuat  paguyuban Wayang Orang Ngesthi Rahayu yang dipimpin Nyi Murtiarsih seorang wanita ningrat dari Jawa Timur, kebetulan bahwa suaminya adalah pemimpin orkes, sehingga Srimulat dapat praktek menyanyi dengan irama musik Kroncong dan Hawaian. Di tahun 1936 nama Srimulat telah melambung tinggi, khususnya di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Maklum beliau adalah seniwati yang serba bisa, dan hampir tidak pernah terikat pada suatu rombongan tertentu. Misalnya saja sehabis unjuk suara di Madiun, beberapa hari kemudian ia telah muncul di Jaarmarkt, Surabaya. Menuju tahun 1937, beliau sempat malang melintang Surabaya – Batavia untuk masuk dapur rekaman. Perusahaan piring hitam Kenari, Columbia, dan His Master’s Voice berkenan mengabadikan suaranya yang merdu melalui lagu Kopi Susu, Nasib Perempuan, Jager Bali, Padi Bunting, dan sebagainya. Suara emasnya meruyak semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Pada tahun 1938 beliau berkesempatan unjuk gigi pada acara Jaarbeurs, Bandung. Suara emasnya menghipnotis seluru pengunjung yang datang, tanpa kenal lelah dari Bandung beliau menuju Yogyakarta, Solo, Bondowoso, dan akhir Desember 1938 beliau diundang di Banyumas. Tahun 1939, Srimulat muncul di Pasar Malam Kudus. Dari  Kudus beliau ke Temanggung, yang tak kalah ramai. Beliau sempat menjalin cinta dengan penggemarnya dari Surabaya namun hanya dua setengah tahun tanpa keturunan bersama Raden Mas Suwandi, beliau melangsa karna mengetahui hanya dijadikan istri kedua, hal yang beliau tentang keras tanpa peduli terhadap ayahandanya sendiri. Gagal berumah tangga dengan Suwandi, beliau makin bebas mengembara dari kota ke kota dari desa ke desa, memasuki usianya berkepala tiga, beliau menjadi seniwati serba mumpuni (serba bisa),  beliau menjadi milik siapa saja. Sebagai bintang panggung freelance beliau selalu bergerak bebas, bergerak, berputar, berpendar. Menjahui sikap ingin berkutat pada garis kesempitan dan kepicikan. Segala macam kesenian panggung beliau jalani, akrabi, gauli, dan selami.

 

Suatu hari pada tahun 1947, Srimulat bertemu dengan Teguh yang merupakan pemuda dengan keahlian bermain gitar, mereka terjalin cinta lokasi disaat manggung bersama di Purwodadi. Saat keduanya makin dekat dan akrab maka bara api cinta mereka makin membara dan kisah cinta mereka pun menjadi cerita yang unik, perjaka 21 tahun mencintai janda ayu berusia 39 tahun sungguh perpaduan mengharukan pada balada cinta mereka berdua. Hari demi hari mereka lewati bersama dengan manggung bersama dari kota ke kota dari desa ke desa hingga akhirnya memasuki tahun 1949 di bulan Februari rezeki dari Teguh dan Srimulat memasuki area cerah, mereka bersama dengan teman-temannya mendirikan grup keroncong baru yang di beri nama “Keroncong Avond”. Ketika musik menjadi gantungan hidup mereka berdua dan menjadikan mereka kian mesra maka keputusan pada tanggal 8 Agustus 1950, keduanya memutuskan untuk menikah, Teguh seorang perjaka 24 tahun dengan Srimulat janda berusia 42 tahun di Solo, Jawa Tengah. Dari perkawinan mereka, mereka tidak mempunyai anak-anak namun sesungguhnya anak mereka adalah grup musik lawak yang mereka dirikan bersama, mereka menjelajahi pulau Jawa bersama, mengalami suka dan duka bersama, berganti haluan dari grup keroncong menjadi grup lawak plus musik sebagai pelengkap pertunjukan, berganti nama dari Dagelan Mataram, hingga yang saat ini dikenal masyarakat dengan nama Aneka Ria Srimulat dan  sampai detik ini nama Srimulat terkenal, dikenal dan diingat berkat peranan dari Teguh dan didukung oleh Srimulat sendiri. Jatuh bangun grup kesenian ini merupakan pengalaman yang tak terlupakan hingga zaman berubah ke pembaruan pun tak ada yang melupakan Srimulat, sebuah nama, serangkai cerita, sedalam makna, segala budaya seni, Srimulat merupakan pelopor grup lawak di Indonesia hingga kini memasuki tahun 2013, saat ini Srimulat masih ada di Jakarta dan Surabaya, di Surabaya masih terletak di Taman Hiburan Rakyat (THR) dan masih menjadi grup lawak yang digemari masyarakat, generasi kedua Srimulat kini berusaha terus mempertahankan eksistensinya dalam zaman serba modern saat ini. Kerinduan mereka adalah melihat tawa masyarakat, dan mengobati letih, lemah, lesu, lunglai masyarakat dengan guyonan khas mereka. Bukan hanya sekedar hobi yang mereka lakukan namun mereka ingin memberikan hiburan bagi masyarakat karena itu adalah pekerjaan mereka secara sukarela menjadi pelawak.

bottom of page